Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Nabi SAW bersabda: “Malaikat Jibril mendatangiku dan
berkata: Ini adalah malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, pada malam ini Allah
membebaskan dari neraka (manusia) sejumlah bulu kambing suku Kalb. Pada malam
ini pula Allah tidak mau melihat kepada orang msyrik, orang yang bermusuhan
(dengan sesama muslim), orang yang memutuskan tali kekerabatan, orang yang
memanjangkan kainnya melebihi mata kaki, orang yang durhaka kepada kedua orang
tuanya, dan pecandu minuman keras.” Hadits ini lemah sekali.
Hadits dari Aisyah dengan lafal: Jika malam nishfu
(pertengahan) Sya’ban maka Allah mengampuni dosa-dosa lebih banyak dari jumlah
bulu kambing suku Kalb (sebuah suku Arab ‘Aribah di negeri Syam).” Syaikh
Al-Albani menyatakan sanadnya lemah dalam Dha’if Jami’ Shaghir no. 654.
“Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam nishfu
Sya’ban ke langit dunia maka Allah mengampuni (hamba-Nya) lebih banyak dari
jumlah bulu kambing suku Kalb.” Ini adalah hadits palsu. Imam Al-Munawi dalam
Faidhul Qadir berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Tirmidzi
dalam kitab shaum, juga Al-Baihaqi dalam kitab ash-shalat dari jalur Hajaj bin
Arthah dari Yahya bin Abi Katsir dari Urwah dari Aisyah. Imam Tirmidzi berkata:
Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur Hajaj. Aku telah mendengar imam
Muhammad (bin Ismail) yaitu imam Al-Bukhari melemahkan hadits ini dengan
mengatakan: Yahya tidak mendengar hadits ini dari Urwah dan Hajaj tidak
mendengarnya dari Yahya.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan
sanad yang sama sehingga nilainya juga hadits palsu. Imam Ad-Daruquthni
berkata: Sanadnya mudhtarib (goncang) tidak shahih. Imam Al-‘Iraqi berkata:
Imam Al-Bukhari melemahkan hadits ini karena sanadnya terputus pada dua tempat
dan ia menyatakan tidak ada satu pun sanad hadits ini yang shahih. Imam Ibnu
Dihyah berkata: Tidak ada satu pun hadits tentang malam nishfu Sya’ban yang
shahih dan tidak ada seorang pun perawi yang jujur meriwayatkan hadits tentang shalat
sunah (malam nishfu Sya’ban). Hal itu hanya diada-adakan oleh orang yang
mempermainkan syariat nabi Muhammad SAW dan senang memakai pakaian Majusi.”
(Dha’if Jami’ Shaghir no. 1761).
Dari Abu Umamah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
Lima malam yang pada saat tersebut doa tidak akan ditolak oleh Allah; malam
pertama bulan Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam idul Fitri, dan
malam idul Adha.” Ini adalah hadits palsu. Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir
menulis: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dan Ad-Dailami dari jalur
Abu Umamah. Juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Ibnu Nashir, dan Al-‘Askari dari
jalur Ibnu Umar. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: Semua jalur hadits
ini cacat.”Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini palsu dalam Dha’if Jami’
Shaghir no. 2852.
“Pada malam nishfu Sya’ban, Allah mewahyukan kepada
malaikat maut untuk mencabut nyawa setiap jiwa yang hendak dicabutnya pada
tahun tersebut.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Dainuri dalam Al-Mujalasah
dengan sanad dha’if, karena sanadnya terputus, yaitu perawi Rasyid bin Sa’ad
meriwayatkan secara mursal. Dinyatakan lemah oleh syaikh Al-Albani dalam Dha’if
Jami’ Shaghir no. 4019 dan Dha’if Targhib wat Tarhib no. 620.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya Allah memeriksa hamba-hamba-Nya pada malam nishfu
Sya”ban maka Allah mengampuni semua hamba-Nya kecuali orang musyrik atau orang
yang bermusuhan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad sangat
lemah. Al-Hafizh Al-Bushiri berkata dalam Misbahuz Zujajah fi Zawaid Ibni
Majah: Sanadnya lemah karena kelemahan perawi Abdullah bin Lahi’ah dan tadlis
perawi Walid bin Muslim. Imam Al-Mundziri juga menyebutkan kelemahan lain,
yaitu perawi Dhahak bin Abdurrahman bin ‘Arzab tidak bertemu dengan Abu Musa
Al-‘Asy’ari. (Sunan Ibnu Majah juz 2 hlm. 86 – cet. Dar Ibni Haitsam) Tidak ada
shaum sunnah setelah nishfu Sya’ban
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada puasa sunnah setelah pertengahan Sya’ban sampai masuk bulan
Ramadhan.”
“Jika telah lewat pertengahan Sya’ban maka janganlah
kalian berpuasa sampai datang Ramadhan.” Hadits ini diriwayatkkan oleh Abu
Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad.
Puasa
Nisfu Sya’ban vs Hadist Shahih
Telah mengabarkan kepada kami [‘Amr bin ‘Ali]
dari [‘Abdurrahman] dia berkata; telah menceritakan kepada kami [Tsabit bin
Qais Abu Al Ghushn] – seorang syaikh dari penduduk Madinah – dia berkata; telah
menceritakan kepadaku [Abu Sa’id Al Maqburi] dia berkata; telah menceritakan
kepadaku [Usamah bin Zaid] dia berkata; Aku bertanya; “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam
satu bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau bersabda: “Itulah bulan
yang manusia lalai darinya; -ia bulan yang berada- di antara bulan Rajab dan
Ramadlan, yaitu bulan yang disana berisikan berbagai amal, perbuatan diangkat
kepada Rabb semesta alam, aku senang amalku diangkat ketika aku sedang
berpuasa.” (Nasai 2317)
Telah menceritakan kepada kami [Muslim bin Ibrahim] telah
menceritakan kepada kami [Hisyam] telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Abu
Katsir] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah radliallahu ‘anhu] dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari kalian
mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali
apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnat) maka pada hari itu
dia dipersilahkan untuk melaksanakannya“. (Bukhari 1781)
Dengan demikian puasa Nisfu Sya’ban
itu tidak ada. Berdasarkan dua hadist di atas dijelaskan bahwa Rasulullah tidak
melakukan puasa nisfu sya’ban tetapi beliau memperbanyak puasa namun tidak
penuh satu bulan di bulan sya’ban. Dengan kata lain beliau berpuasa dengan
batas waktu tertentu. Boleh saja berpuasa tapi tidak mengkhususkan.
Keutamaannya jelas tidak ada juga, kecuali memang untuk melaksanakan puasa
sunnah senin dan kamis, Ayamul Bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriyah), atau puasa
Dawud (sehari puasa, sehari tidak puasa).
Riwayat lain pun menjelaskan bahwa
istri rasulullah sendiri melakukan shaum di bulan Sya’ban bukan untuk
mengkhususkannya melainkan untuk mengqadha puasa yang telah lalu:
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus] telah
menceritakan kepada kami [Zuhair] telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari
[Abu Salamah] berkata; Aku mendengar [‘Aisyah radliallahu ‘anha] berkata: “Aku berhutang
puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali pada bulan Sya’ban“.
Yahya berkata: “Karena dia sibuk karena atau bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam “. (Bukhari 1814)
Diriwayatkan juga Muslim 1933, Abu Dawud 2047, Tirmidzi 714, Nasai
2280, Ibnu Majah 1659, Malik 600, Ahmad 23781, Ahmad 23850 dan Ahmad 24289.
