Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan di Dunia Fiksi

Sebuah Cerpen, Perjalanan di Dunia Fiksi ditulis oleh Asep Solikhin.


Di belantara kota aku menyengaja berjalan di malam hari ketika tiada lagi tanda-tanda kehidupan lalu-lalang manusia. Mencari kedamaian jiwa, aku sibakkan kabut-kabut itu dengan beberapa nada syahdu. Aku menatap langit bumi yang masih setia memayungi. Lampu-lampu kota sepanjang jalan enggan meredup dan mereka tetap menatap waspada.

Memang saat itu adalah masa dimana aku baru menginjakkan kaki di kota asing itu. Kota yang belum pernah sebelumnya aku singgahi. Maka aku ingin mengenali suasana malamnya. Juga apakah seindah kota yang tak pernah tidur itu.

Damainya kota ini tiada resah melanda. Binatang malam enggan munculkan diri kepermukaan bumi. Atau mungkin karena tidak ada. Jika pun ada, mereka akan membuat keramaian dan onar di saat hening seperti ini.

Entah sudah berapa ribu langkah aku menyusuri kota. Namun kaki masih terasa ringan untuk melanjutkan perjalanan. Namun dahaga tiba-tiba hadir dan membuatku gelisah. Di manakah di tengah kota seperti ini ada mata air segar? Tak mungkin ada, warung-warung pun sudah ditinggalkan pemiliknya.

Sepertinya terlampau jauh melangkah, dahaga ini semakin menjadi-jadi. Sepercik embun pun tak mudah aku temui. "Dahaga adalah rasa, rasa adalah buah pikiran." pikir ku. Maka aku tetap melanjutkan langkah dan nyatanya, dahaga kian mereda.

Aku menemukan sebuah kerumunan manusia. Mereka berjajar panjang. Apa yang telah terjadi sekarang? Aku telusuri penyebabnya. Aku bertanya satu per-satu dari mereka, namun tiada jawaban yang bisa aku dapat. Mereka tetap diam dan seolah tak melihatku.

Perjalanan di Dunia Fiksi
Aku mencoba meraih salah satunya, namun ini mengherankan. Tak satupun dapat aku meraihnya. Seperti menebas angin saja. "Yah. kalau begini lebih baik langsung menembus saja untuk segera melihat ujugnya." Dengan nekadnya saya menembus mereka. Begitu panjang antrian itu, lebih jauh dari jarak perjalanan awal. Semakin jelas aku melihat cahaya biru di sana. Namun ups. Di hadapanku berbeda dengan yang lain. Ia tak bisa aku menembusnya. Tiada rasa hawatir di wajahnya. "Antrian apa ini?" tanyaku. "Kembalilah pulang. Ini adalah antrian orang-orang yang dilanda dahaga. Dan Anda tidak usah melanjutkan niat Anda. Anda bisa memperolehnya di tempat Anda." pintanya dengan ramah. Bertanya dalam benakku. Apakah yang bisa menghilangkan dahaga itu. Apakah mereka mengantri untuk mendapatkan air bersih dari PDAM? Tiba-tiba orang itu berkata lagi. "Ini bukan dahaga yang kau pikirkan. Ini adalah dahaga dalam jiwa. Kau bisa mendapatkan penawarnya di tempatmu. Maka kembalilah segera" Heran, sepertinya dia tahu yang aku pikirkan. Harusnya aku merinding dari awal, ketika aku mampu menembus mereka. "Tak perlu takut padaku, takutlah kepada penciptamu. Surat cintanya yang mampu hilangkan dahagaku, dahaga kami semua. Dahagamu adalah tegukan mata air. Dahaga kami adalah melihat air mata yang merindukan berjumpa dengan-Nya."

Makhluk apa sebenarnya mereka ini. Seperti makhluk dalam cerita fiksi. Dan aku akhirnya menyadari bahwa aku adalah tokoh utama dari cerita fiksi ini maka aku lebih baik kembali. Kembali menjadi penulisnya di alam nyata dan memberikannya judul, "Perjalananku di Alam Fiksi". Namun walau begitu, aku tetap penasaran pada mereka. Sejenis makhluk apa mereka. Semoga nanti muncul inspirasi kembali.
Tidak ada seorang muslim pun yang mendo’akan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama”.
  • Facebook
  • WhatsApp
  • Instagram