Antara Penikmat dan Pejuang
Ungkapan hubb al wathan min al iman tidak hanya konsep duniawi akan tetapi juga memiliki kandungan teologis. Maknanya bahwa orang yang mencintai negaranya berarti dia telah menjalankan keimanannya terhadap yang menciptanya. Di dalam suasana peperangan untuk membela kemerdekaan, maka seseorang yang melakukannya karena mencintai negaranya tentu bisa dianggap sebagai mencintai imannya. Maka konsep resolusi jihad yang dilakukan pejuang muslim didasari salah satunya oleh pandangan teologis dan sosiologis seperti ini. Rasulullah SAW pun mencintai bangsanya hingga perjuangan demi perjuangan pun beliau lakukan sampai terjadinya futuh Makah (pembebasan kota Makah).
Selain itu Rasulullah SAW pun mencintai umatnya. Ini tertanam hingga ke generasi-generasi setelah beliau wafat. Maka saksikanlah pembebasan-pembebasan negara-negara dari para imperialis Roma yang rakus dan keji yang pertempuran itu dikenal dengan perang salib. Hingga sampai di Indonesia, para Wali yang sembilan, Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, dan yang lainnya sampai Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Soekarno, dan M. Hatta, mereka melakukannya dengan susah payah dan waktu yang tak sebentar. Tercatat dalam berbagai literatur sejarah bahwa perjuangan mengusir penjajah di Indonesia saja itu sekitar 3,5 Abad. Ini waktu yang tidak sebentar bukan? Mereka melakukan semua itu karena mencintai bangsanya.
Pertanyaannya adalah, mengapa rasa cinta mereka kepada bangsa ini begitu besar? Mengapa rasa cinta kita terhadap bangsa ini tidak seperti yang mereka miliki? Tariklah nafas yang dalam dan ucapkan istighfar, astaghfirullohal ‘adziim, astaghfirullohal ‘adziim, astaghfirullohal ‘adziim. Karena jiwa mereka hidup, hati mereka hidup. Seperti sebuah kutipan lagu kebangsaan kita, “Bangunlah jiwanya” yang mengisyaratkan kepada kita untuk menghidupkan dan meningkatkan kualitas ruhiyah kita agar selemah apapun raga “Bangunlah badannya” sehingga memiliki semangat juang yang tinggi. Siapa yang tidak mengenal Jendral Soedirman? Walau penyakit menggerogoti paru-parunya, beliau dengan ketulusan jiwa tetap berjuang memimpin pasukannya. Lalu bagaimana dengan kita saat ini, apakah hanya berbangga diri menjadi penikmat? Raga memang kuat namun jiwanya sekarat. Menjadi hamba hawa nafsu, menjadi hamba kesenangan, berebut kekuasaan, saling sikut, saling tindas, melupakan kewajiban dan lebih banyak menuntut hak.
Pantaslah jika sekarang walaupun sudah merdeka tapi hatinya belum merdeka. Karena jiwanya terbelenggu oleh dunia. Sangat berbeda dengan mereka yang rela meninggalkan kesenangan pribadinya demi berjuang membela bangsa. Hendaknya kita para penikmat ini bersyukur dan tanda bersyukur itu diantaranya tetap menjaga dan meningkatkan kualitas diri baik ruhiyah, intelektual, dan jasad kita agar terbebas dan membebaskan dari berbagai bentuk penjajahan.
Pantaslah jika sekarang walaupun sudah merdeka tapi hatinya belum merdeka. Karena jiwanya terbelenggu oleh dunia. Sangat berbeda dengan mereka yang rela meninggalkan kesenangan pribadinya demi berjuang membela bangsa. Hendaknya kita para penikmat ini bersyukur dan tanda bersyukur itu diantaranya tetap menjaga dan meningkatkan kualitas diri baik ruhiyah, intelektual, dan jasad kita agar terbebas dan membebaskan dari berbagai bentuk penjajahan.