Aku Juga yang Salah
Sebuah Renungan di penghujung Senja
Semasa aku kecil, begitu banyak kau luangkan waktu untukku. Engkau korbankan sisa-sisa waktu di sela-sela tugas kantor yang diamahkan kepadamu. Kau ajak aku kemanapun kau pergi dengan maksud menghiburku dan menghiburmu. Meski aku belum mengerti apa yang telah engkau lakukan. Aku hanya membalasmu dengan tawa-tawa kecil khas balita yang belum bisa berjalan yang bikin gemes. Kau peluk aku, mendekapku dengan erat penuh kehangatan menenangkan aku ketika kepalaku terbentur kaki meja.
Engkau pun sering membawaku ke tempat kerja. Ketika aku tertidur di pangkuanmu, kau sembunyikan aku di balik kursi kerjamu agar tak seorangpun menyentuhku bahkan seekor nyamuk pun tak boleh menggangguku. Ibu datang menjemputku namun engkau bilang, “Ssst..sang pangeran lagi mimpi indah, jangan kau potong ceritanya. Biarkanlah ia di sana.” Seakan kau tak rela ibu menyentuhku. Ibu membawa perlengkapanku dan makan siang untuk ayah dan aku. Ayah pernah bilang padaku bahwa masakan ibu adalah yang paling enak.
Tapi aku waktu itu percaya saja sebab aku belum dibolehkan memakan makanan orang dewasa. Aku jawab dengan senyuman khasku yang bikin ayah makin gemes. Ayah dan ibu makan siang bersama saat waktu istirahat tiba. Sambil berbincang kecil sambil sesekali melihatku yang tidur pulas. Rupanya ayah banyak cerita tentang aku. Ibu pun melihatku, memperhatikanku yang berada di balik kelambu transparan berwarna biru langit. Terkadang keluar dari mulut mereka suara keras yang membuat mimpiku terputus-putus.
Terbangunlah sang pangeran dari mimpi indahnya. Mata yang layu segar kembali. Aku melihat ayah dan ibu masih dalam perbincangan karena waktu istirahat masih lama. Aku sapa mereka dengan ocehan-ocehan yang sangat sederhana. Menyapa ayah dan ibu penuh rasa rindu. Ooh serasa satu tahun baru bertemu. Ibu langsung meraihku. Eeh.. Pangeran kecilku sudah bangun... begitulah yang ibu katakan. Ayah tak lupa menyiapkan makan siangku. Ketika ibu menyuapiku, ayah mencari-cari kesempatan mencubit pipiku yang menggemaskan itu. Karena aku belum bisa nyubit, syukurlah ibu yang balas cubitan-cubitan itu.
Aku hanya balas dengan senyum dan senyum saja. Ayah selalu membuat kami bahagia meskipun waktu istirahatnya habis olehku. Seusai shalat, ayah menyerahkanku pada wanita cantik itu. Aku di gendong ibuku dengan tangan kirinya menopang kepalaku. Aku dimasukkan ke dalam keranjang bayi yang ibu bawa dari rumah kemudian ibu mendorongnya menuju pintu keluar. Banyak orang menyapa kami dengan wajah ceria laksana mereka baru saja melihat aktor terkenal di dalam dorongan berbentuk keranjang itu. Aku di sapa mereka dan ibu membalas sapaan mereka. Karena ayahku seorang direktur dan ibuku adalah seorang dokter yang baik di mata mereka dan aku maka mereka takpernah memasang muka layu ketika berjumpa dengan kami. Ibu dan aku sampai di dekat mobil mewah berwarna silver berlogo lingkaran biru kecil di depannya. Bernomor polisi sesuai nama ayahku.
Dibukakanlah pintu mobil itu oleh seorang lelaki baik berbadan tegap. Ibu mengangkatku dan meminta lelaki itu memasukkan perlengkapan lainnyake dalam mobil. Kemudian ibu di dalam mobil memanjakan aku. Setelah rapi semua maka lelaki tadi menutup bagasi dan menempati kursi paling depan untuk mulai melaju menuju istana yang megah di pinggir kota.
Orang-orang bilang aku adalah sang darah biru tapi darahku tetap berwarna merah. Kadaan ini membuat ayah disegani dan dihormati. Tiada kata-kata yang tak bermakna yang keluar dari mulut suci mereka. Ayah sangat dekat dengan mereka, tidak pandang kelas, suku, kulit, atau bahasa. Ayah walaupun tak pernah tamat Sekolah Dasar namun dengan izin Allah, beliau dengan kejujurannya, keja kerasnya, perhatiannya, ketulusannya, dan yang paling utama adalah keimanannya telah mampu mengantarkannya pada puncak kesuksesan. Ayah banyak merubah keadaan. Lawan menjadi kawan, preman menjadi demawan, miskin menjadi berkecukupan, ayah korbankan sebagian waktunya untuk membangun masyarakat dengan mendidik, menggugah, lalu mengubah pola pikir mereka sehingga tercipta suasana aman, tentram, dan sejahtera di tempat kami tinggal. Ini membuat aku bangga pada sosok lelaki yang satu ini.
Aku tak pernah tahu seperti apa perjuangan ayah dahulu. Yang saya tahu ayah tidak lulus SD, tukang gembala kerbau, mainnya di kali dan lumpur, seorang anak petani miskin. Sepertinya cerita-cerita pengantar tidurku itulah kisah ayah. Ayah memberikan cerita yang pasti orang lain belum pernah mendengarnya. Beliau selalu berharap agar aku mengikuti jejaknya agar bisa lebih darinya (Tunggu kisahnya “Sang Pengembara” insya Allah) karena beliau ingin agar aku selalu dekat dengannya, meneladaninya sebab aku anak sematawayangnya yang kelak mau tidak mau aku harus meneruskan amanah yang dia emban sekarang.
Lima tahun usiaku pada saat itu... Inilah waktu biasa ayah pulang. Terdengarlah salam dari luar pintu lalu aku teriak, “Ayah...” setelah menjawab salam sesuai yang telah ibu ajarkan. Aku menuju pintu berlomba dengan ibu untuk membukakan puntu. Tampaklah di depanku seorang lelaki dengan senyum dalam lelah tampak dari raut wajahnya. Aku dekap ayah seakan baru berjumpa lagi dari waktu yang amat lama. Aku raih tangannya agar dia membalas pelukan tangan kecil yang mendekapnya.
Ayah pun merendahkan badannya dan memelukku dan mengangkatku. Di belakangku ada sesosok bidadari yang mempersembahkan wajah idahnya kepada kami. Diraihlah tangan ayah olehnya dan menciumnya seakan berucap “selamat datang di surga”. Ayah pun membalasnya dengan mengelusnya. Ayah lalu menyerahkan aku kepada ibu. Sepertinya ayah butuh banyak istirahat. Ayah kemudian meninggalkan kami menuju tempat istirahat, duduk sejenk melepas lelah kemudian pergi membersihkan diri untuk bersiap melaksanakan shalat berjamaah. Adzan berkumandang, bahagianya kami menikmati minuman yang telah ibu siapkan sebelumnya untuk buka shaum bersama.
Menjelang waktu istirahat, dua jam sepulang dari tarawih, aku melihat ayah masih sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang menumpuk di atas mejanya. Aku merangkulnya dengan manja merayunya agar mau membacakan cerita yang baru dibeli tadi siang. “Ayah...ade punya buku baru lho... pasti ayah suka. Tuh liat gambarnya bagus kan?” sambil memperlihatkan buku yang masih terbungkus rapi di hadapannya. “Ayah mau ya bacain sekarang buat ade..ade udah ngantuk nih” Ayah masih tak memperhatikan. Aku terus merenge, “Ayolah yah...bukunya bagus...banget sekarang yah bacainnya ya?” ayah mulai jawab dengan melihat bukunya. “Sebentar ya De, ayah masih sibuk..nanti ayah bacain. Sebentaar aja” aku setengah memaksa, “Tapi ade mau sekarang..ayah bacain sekarang..ayo” jawab yah dengan tenang, “Anakku yang pinter, tunggu ya... sebentaar lagi. Bagaimana kalau ibu yang bacain?” Aku letakkan buku itu di atas mejanya, “tapi kan ade pengen ayah yang bacain.. Coba deh ayah lihat bukunya, rame banget gambarnya. Pasti ceritanya seru deh.. pokoknya ade mau ayah yang bacain. Kan biasanya cerita ayah lebih seru.. jadi ayah saja yang bacain buat ade ya.. sekarang ya yah...” “Sabar ya dek”, Agak keras beliau menjawab dengan agak kesal. “ayolah yah... sekarang saja bacainnya..” Wajah ayah kini memerah. Ayah meraih buku yang aku simpan di atas mejanya kemudian beliau merobek bungkusnya dan mengeluarkan buku beraneka warna dan gambar itu. Senangnya ayah mau membacakannya untukku. Ternayata usahaku berhasil. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Dia mengembalikan buku itu dan berkata dengan nada yang belum aku dengar sebelumnya. Beliau membentakku sebagai bentakan pertama dan terakhir, “BISA SABAR GAK SIH...KAMU TAHU, AYAH MASIH SIBUK... AYAH HARUS SEGERA MENYELSAIKAN PEKERJAAN AYAH...AYAH KERJA BUAT SIAPA? BUAT KAMU... INI BUKUNYA, SANA PERGI KE KAMAR.” Berlinang air mataku menyaksikan perubahan ayah. Namun aku dengar bisikan lirih dari mulutnya, kalimat istighfar berulang kali dia ucapkan dengan penuh penyesalan untuk menentramkan kembali hatinya.
Terdiam aku di hadapannya menunduk merasa bersalah. Ayah menatap wajahku, memelukku, menentramkan aku kembali sambilmenyeka titik-titik air yang mulai membasahi pipi kiri dan kananku. “Maafkan ayah nak..Bukan maksud ayah marah padamu. Sama, ayah pun lelah sepertimu. Tapi ayah harus segera menyelesaikan pekerjaan ayah malam ini. Baiklah...ayah bacakan sekarang ya nak.” Ayah menggendongku hingga merebakan tubuh kecilku di atas dipan kayu berkasur kapuk yang beliau bawa dari desa dua tahun lalu. Aku di tutupinnya dengan selimut halus yang masih tercium sangat wangi. Ayah mengambil buku dari tanganku dan duduk di kursi dekat dipan kayu itu lalu mulai membaca halaman pertama. Bahagianya aku dan ayah melewati halaman pertama. Namun aku melihat ayah sudah sangat lelah. Ceritanya makin kacau, suaranya makin parau, dan wajahnya sudah mulali layu. Habislah tiga lembar maka habislah energi ayah. Ayah tertidur di sisiku dalam posisi duduk dengan tangan kiri di dekat pundak kananku dan tangan kirinya masih memegang buku cerita. “Ayaah..” Aku memanggilnya dengan lirih agar beliau melanjutkan ceritanya. Namun ayah sudah terlelap tidur dan aku pun tak ingin mengganggunya.
Aku raih tangannya dan mengelusnya sambil berbisik dalam hati... Ayah maafkan aku, bukan maksudku membuatmu marah...Ayah maafkan aku, Aku sudah membuat ayah kesal. Ayah... ayah pasti sangat lelah, tapi maafkan aku karena sikapku tadi yang tidak mau mengerti ayah. Ayah istirahatlah, aku janji ga akan mengulanginya lagi, aku janji ayah..
Ketika aku besar nati, engkau tak perlu sperti ini lagi. Bekerja setiap hari. Ayah harus banyak istirahat. Aku yang akan berjuang untuk ayah, untuk ibu. Aku ingin seperti ayah. Aku ingin membahagiakan kalian semua. Aku ingin kalian tersenyum bangga padaku. Wahai Allah ampunkanlah aku, ibu dan ayahku dan sayangilah mereka seperti mereka mengasihiku ketika aku kecil...
Semasa aku kecil, begitu banyak kau luangkan waktu untukku. Engkau korbankan sisa-sisa waktu di sela-sela tugas kantor yang diamahkan kepadamu. Kau ajak aku kemanapun kau pergi dengan maksud menghiburku dan menghiburmu. Meski aku belum mengerti apa yang telah engkau lakukan. Aku hanya membalasmu dengan tawa-tawa kecil khas balita yang belum bisa berjalan yang bikin gemes. Kau peluk aku, mendekapku dengan erat penuh kehangatan menenangkan aku ketika kepalaku terbentur kaki meja.
Engkau pun sering membawaku ke tempat kerja. Ketika aku tertidur di pangkuanmu, kau sembunyikan aku di balik kursi kerjamu agar tak seorangpun menyentuhku bahkan seekor nyamuk pun tak boleh menggangguku. Ibu datang menjemputku namun engkau bilang, “Ssst..sang pangeran lagi mimpi indah, jangan kau potong ceritanya. Biarkanlah ia di sana.” Seakan kau tak rela ibu menyentuhku. Ibu membawa perlengkapanku dan makan siang untuk ayah dan aku. Ayah pernah bilang padaku bahwa masakan ibu adalah yang paling enak.
Tapi aku waktu itu percaya saja sebab aku belum dibolehkan memakan makanan orang dewasa. Aku jawab dengan senyuman khasku yang bikin ayah makin gemes. Ayah dan ibu makan siang bersama saat waktu istirahat tiba. Sambil berbincang kecil sambil sesekali melihatku yang tidur pulas. Rupanya ayah banyak cerita tentang aku. Ibu pun melihatku, memperhatikanku yang berada di balik kelambu transparan berwarna biru langit. Terkadang keluar dari mulut mereka suara keras yang membuat mimpiku terputus-putus.
Terbangunlah sang pangeran dari mimpi indahnya. Mata yang layu segar kembali. Aku melihat ayah dan ibu masih dalam perbincangan karena waktu istirahat masih lama. Aku sapa mereka dengan ocehan-ocehan yang sangat sederhana. Menyapa ayah dan ibu penuh rasa rindu. Ooh serasa satu tahun baru bertemu. Ibu langsung meraihku. Eeh.. Pangeran kecilku sudah bangun... begitulah yang ibu katakan. Ayah tak lupa menyiapkan makan siangku. Ketika ibu menyuapiku, ayah mencari-cari kesempatan mencubit pipiku yang menggemaskan itu. Karena aku belum bisa nyubit, syukurlah ibu yang balas cubitan-cubitan itu.
Aku hanya balas dengan senyum dan senyum saja. Ayah selalu membuat kami bahagia meskipun waktu istirahatnya habis olehku. Seusai shalat, ayah menyerahkanku pada wanita cantik itu. Aku di gendong ibuku dengan tangan kirinya menopang kepalaku. Aku dimasukkan ke dalam keranjang bayi yang ibu bawa dari rumah kemudian ibu mendorongnya menuju pintu keluar. Banyak orang menyapa kami dengan wajah ceria laksana mereka baru saja melihat aktor terkenal di dalam dorongan berbentuk keranjang itu. Aku di sapa mereka dan ibu membalas sapaan mereka. Karena ayahku seorang direktur dan ibuku adalah seorang dokter yang baik di mata mereka dan aku maka mereka takpernah memasang muka layu ketika berjumpa dengan kami. Ibu dan aku sampai di dekat mobil mewah berwarna silver berlogo lingkaran biru kecil di depannya. Bernomor polisi sesuai nama ayahku.
Dibukakanlah pintu mobil itu oleh seorang lelaki baik berbadan tegap. Ibu mengangkatku dan meminta lelaki itu memasukkan perlengkapan lainnyake dalam mobil. Kemudian ibu di dalam mobil memanjakan aku. Setelah rapi semua maka lelaki tadi menutup bagasi dan menempati kursi paling depan untuk mulai melaju menuju istana yang megah di pinggir kota.
Orang-orang bilang aku adalah sang darah biru tapi darahku tetap berwarna merah. Kadaan ini membuat ayah disegani dan dihormati. Tiada kata-kata yang tak bermakna yang keluar dari mulut suci mereka. Ayah sangat dekat dengan mereka, tidak pandang kelas, suku, kulit, atau bahasa. Ayah walaupun tak pernah tamat Sekolah Dasar namun dengan izin Allah, beliau dengan kejujurannya, keja kerasnya, perhatiannya, ketulusannya, dan yang paling utama adalah keimanannya telah mampu mengantarkannya pada puncak kesuksesan. Ayah banyak merubah keadaan. Lawan menjadi kawan, preman menjadi demawan, miskin menjadi berkecukupan, ayah korbankan sebagian waktunya untuk membangun masyarakat dengan mendidik, menggugah, lalu mengubah pola pikir mereka sehingga tercipta suasana aman, tentram, dan sejahtera di tempat kami tinggal. Ini membuat aku bangga pada sosok lelaki yang satu ini.
Aku tak pernah tahu seperti apa perjuangan ayah dahulu. Yang saya tahu ayah tidak lulus SD, tukang gembala kerbau, mainnya di kali dan lumpur, seorang anak petani miskin. Sepertinya cerita-cerita pengantar tidurku itulah kisah ayah. Ayah memberikan cerita yang pasti orang lain belum pernah mendengarnya. Beliau selalu berharap agar aku mengikuti jejaknya agar bisa lebih darinya (Tunggu kisahnya “Sang Pengembara” insya Allah) karena beliau ingin agar aku selalu dekat dengannya, meneladaninya sebab aku anak sematawayangnya yang kelak mau tidak mau aku harus meneruskan amanah yang dia emban sekarang.
Lima tahun usiaku pada saat itu... Inilah waktu biasa ayah pulang. Terdengarlah salam dari luar pintu lalu aku teriak, “Ayah...” setelah menjawab salam sesuai yang telah ibu ajarkan. Aku menuju pintu berlomba dengan ibu untuk membukakan puntu. Tampaklah di depanku seorang lelaki dengan senyum dalam lelah tampak dari raut wajahnya. Aku dekap ayah seakan baru berjumpa lagi dari waktu yang amat lama. Aku raih tangannya agar dia membalas pelukan tangan kecil yang mendekapnya.
Ayah pun merendahkan badannya dan memelukku dan mengangkatku. Di belakangku ada sesosok bidadari yang mempersembahkan wajah idahnya kepada kami. Diraihlah tangan ayah olehnya dan menciumnya seakan berucap “selamat datang di surga”. Ayah pun membalasnya dengan mengelusnya. Ayah lalu menyerahkan aku kepada ibu. Sepertinya ayah butuh banyak istirahat. Ayah kemudian meninggalkan kami menuju tempat istirahat, duduk sejenk melepas lelah kemudian pergi membersihkan diri untuk bersiap melaksanakan shalat berjamaah. Adzan berkumandang, bahagianya kami menikmati minuman yang telah ibu siapkan sebelumnya untuk buka shaum bersama.
Menjelang waktu istirahat, dua jam sepulang dari tarawih, aku melihat ayah masih sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang menumpuk di atas mejanya. Aku merangkulnya dengan manja merayunya agar mau membacakan cerita yang baru dibeli tadi siang. “Ayah...ade punya buku baru lho... pasti ayah suka. Tuh liat gambarnya bagus kan?” sambil memperlihatkan buku yang masih terbungkus rapi di hadapannya. “Ayah mau ya bacain sekarang buat ade..ade udah ngantuk nih” Ayah masih tak memperhatikan. Aku terus merenge, “Ayolah yah...bukunya bagus...banget sekarang yah bacainnya ya?” ayah mulai jawab dengan melihat bukunya. “Sebentar ya De, ayah masih sibuk..nanti ayah bacain. Sebentaar aja” aku setengah memaksa, “Tapi ade mau sekarang..ayah bacain sekarang..ayo” jawab yah dengan tenang, “Anakku yang pinter, tunggu ya... sebentaar lagi. Bagaimana kalau ibu yang bacain?” Aku letakkan buku itu di atas mejanya, “tapi kan ade pengen ayah yang bacain.. Coba deh ayah lihat bukunya, rame banget gambarnya. Pasti ceritanya seru deh.. pokoknya ade mau ayah yang bacain. Kan biasanya cerita ayah lebih seru.. jadi ayah saja yang bacain buat ade ya.. sekarang ya yah...” “Sabar ya dek”, Agak keras beliau menjawab dengan agak kesal. “ayolah yah... sekarang saja bacainnya..” Wajah ayah kini memerah. Ayah meraih buku yang aku simpan di atas mejanya kemudian beliau merobek bungkusnya dan mengeluarkan buku beraneka warna dan gambar itu. Senangnya ayah mau membacakannya untukku. Ternayata usahaku berhasil. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Dia mengembalikan buku itu dan berkata dengan nada yang belum aku dengar sebelumnya. Beliau membentakku sebagai bentakan pertama dan terakhir, “BISA SABAR GAK SIH...KAMU TAHU, AYAH MASIH SIBUK... AYAH HARUS SEGERA MENYELSAIKAN PEKERJAAN AYAH...AYAH KERJA BUAT SIAPA? BUAT KAMU... INI BUKUNYA, SANA PERGI KE KAMAR.” Berlinang air mataku menyaksikan perubahan ayah. Namun aku dengar bisikan lirih dari mulutnya, kalimat istighfar berulang kali dia ucapkan dengan penuh penyesalan untuk menentramkan kembali hatinya.
Terdiam aku di hadapannya menunduk merasa bersalah. Ayah menatap wajahku, memelukku, menentramkan aku kembali sambilmenyeka titik-titik air yang mulai membasahi pipi kiri dan kananku. “Maafkan ayah nak..Bukan maksud ayah marah padamu. Sama, ayah pun lelah sepertimu. Tapi ayah harus segera menyelesaikan pekerjaan ayah malam ini. Baiklah...ayah bacakan sekarang ya nak.” Ayah menggendongku hingga merebakan tubuh kecilku di atas dipan kayu berkasur kapuk yang beliau bawa dari desa dua tahun lalu. Aku di tutupinnya dengan selimut halus yang masih tercium sangat wangi. Ayah mengambil buku dari tanganku dan duduk di kursi dekat dipan kayu itu lalu mulai membaca halaman pertama. Bahagianya aku dan ayah melewati halaman pertama. Namun aku melihat ayah sudah sangat lelah. Ceritanya makin kacau, suaranya makin parau, dan wajahnya sudah mulali layu. Habislah tiga lembar maka habislah energi ayah. Ayah tertidur di sisiku dalam posisi duduk dengan tangan kiri di dekat pundak kananku dan tangan kirinya masih memegang buku cerita. “Ayaah..” Aku memanggilnya dengan lirih agar beliau melanjutkan ceritanya. Namun ayah sudah terlelap tidur dan aku pun tak ingin mengganggunya.
Aku raih tangannya dan mengelusnya sambil berbisik dalam hati... Ayah maafkan aku, bukan maksudku membuatmu marah...Ayah maafkan aku, Aku sudah membuat ayah kesal. Ayah... ayah pasti sangat lelah, tapi maafkan aku karena sikapku tadi yang tidak mau mengerti ayah. Ayah istirahatlah, aku janji ga akan mengulanginya lagi, aku janji ayah..
Ketika aku besar nati, engkau tak perlu sperti ini lagi. Bekerja setiap hari. Ayah harus banyak istirahat. Aku yang akan berjuang untuk ayah, untuk ibu. Aku ingin seperti ayah. Aku ingin membahagiakan kalian semua. Aku ingin kalian tersenyum bangga padaku. Wahai Allah ampunkanlah aku, ibu dan ayahku dan sayangilah mereka seperti mereka mengasihiku ketika aku kecil...