Shalat Gerhana, Hukum, dan Syariatnya
SHALAT GERHANA merupakan shalat yang dilaksanakan dengan tata cara yang khusus kala gelapnya salah satu dari dua cahaya : Matahari atau bulan.
•DALIL DISYARIATKANNYA
Telah valid sunnah tentang disyariatkannya shalat khususf, diantaranya : Hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Al Mughirah bin Syu'bah rodiyallahu 'anhu, dia berkata : «Terjadi gerhana matahari pada hari wafatnya Ibrahim, maka manusia berkata : 'Terjadi Gerhana matahari karena meninggalnya Ibrahim', maka Rasulullah shallahu 'alaihi WA sallam bersabda : "Sesngguhnya matahari dan bulan merupakan tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, tidaklah keduanya gerhana karena matinya atau hidupnya seseorang, jika kalian melihat keduanya (gerhana) maka berdo'alah kepada Allah dan shalat lah hingga terang kembali"». (HR. Bukhari Muslim).
•HUKUM SHALAT KHUSUF
1. Jumhur Fuqoha (ahli fiqih) berpendapat bahwa hukum shalat khusuf adalah sunnah muakkadah. Mereka berdalilkan dengan hadis Syu'bah yang telah lalu, mereka berkata bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan dengannya dan sekaligus mengerjakannya, maka itu menunjukkan sunnah mu'akadah. Mereka menyatakan bahwa yang memalingkan dari hukum wajib adalah hadis al A‘raabiy, dan didalamnya : «Bahwasanya 'Arabiy itu bertanya tentang shalat lima waktu, kemudian bertanya : 'Apakah bagiku ada kewajiban shalat yang lainnya ?' Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab : 'Tidak ada, kecuali jika kamu mengerjakan sesuatu yang sunnah'». (HR. Bukhari Muslim).
2. Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan wajibnya shalat khusuf, ia merupakan pendapat Hanafiyah, dan dengan pendapat Ibnu Utsaimin berpendapat.
Dan Ibnul Qoyyim berkata dalam kitab shalat : "Ia merupakan pendapat yang kuat, yaitu pendapat wajibnya, mereka beralasan bahwa Nabi memerintahkan hal tersebut, dan keluarnya beliau untuk shalat khusuf dalam keadaan tiba-tiba, dan bersabda : "Sesungguhnya ia memberikan rasa takut" dan berkhotbah (dengan) Khutbah yang agung, dan dinampakkan kepadanya Surga dan Neraka, maka seluruh indikasi ini memberikan kesan wajib.
Dan mereka menjawab hadis 'Arabiy bahwa Nabi shalallahu 'alaihi sallam menyebutkan shalat yang lima waktu; karena ia shalat harian yang berulang pada setiap waktu dan tempat, berbeda dengan shalat ini, maka ia wajib dengan sebabnya, dan sesuatu yang wajib karena suatu sebab tidak seperti kewajiban yang mutlak.
Maka seperti orang bernazar untuk shalat dua rakaat contohnya, maka ia wajib atas orang tersebut, dan ia bukanlah bagian dari shalat yang lima waktu.
YANG BENAR bahwa hukum shalat khusuf sunnah mu'akadah; karena kuatnya dalil-dalil orang yang berpendapat dengan pendapat tersebut, dan dengan pendapat ini Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berpendapat.
•WAKTU SHALAT KHUSUF
Waktu shalat khusuf dimulai dari nampaknya khusuf sampai hilangnya/selesainya; hal tersebut berdasarkan sabda shalallahu 'alaihi wa sallam yang telah lalu : "Jika kalian melihat keduanya maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga nampak kembali". (HR. Bukhari Muslim).
Dari sini kita mengetahui bahwa tidak disyari'atkan shalat khusuf sebelum terjadinya karena bersandar pada perkataan astronom, bahkan satu keniscayaan dari melihatnya dengan penglihatan yang biasa dan tidak menggunakan teropong dan yang semisalnya.
•HUKUM SHALAT KHUSUF PADA WAKTU-WAKTU TERLARANG
Para ulama berbeda pendapat salam masalah ini pada dua pendapat :
1. Tidak dilakukan shalat pada waktu-waktu terlarang; karena keumuman dalil-dalil yang ada tentang larangan shalat pada waktu-waktu terlarang, dan kami telah paparkan dalil-dalil ini pada waktu yang telah lalu, ini merupakan pendapat Hanafiyah, dan ia merupakan dzahir Madzhab Hanabilah, dan riwayat dari Imam Malik, dan mereka menyatakan bahwa pelaksanaan shalat diganti dengan istigfar, tahlil, tasbih, dan lainnya selain shalat.
2. Bahwa ia tetap shalat di waktu-waktu terlarang ini; karena ia merupakan shalat yang memiliki sebab, maka ia shalat di waktu kapan saja, seperti shalat-shalat yang memiliki sebab, dan ia merupakan pendapat Syafi'iyah; dan ini pendapat yang benar.
•HUKUM BERJAMA'AH DALAM SHALAT KHUSUF
Ahli fiqih telah sepakat bahwa pelaksanaan shalat gerhana matahari dilakukan secara berjama'ah, adapun husuf (gerhana) bulan maka ahli fiqih berbeda pendapat pada dua pendapat :
1. Pendapat Abu Hanifah dan Malik, bahwa shalat gerhana bulan dilakukan sendirian dua rakaat dua rakaat dan tidak dilakukan secara berjama'ah, mereka beralasan bahwasanya tidak dikutif dari Nabi shallallahu 'alahi wa sallam bahwa beliau shalat gerhana bulan secara berjama'ah, padahal gerhana bulan lebih sering terjadi daripada gerhana matahari.
2. Pendapat kedua, ia merupakan Madzhab Hanabilah, bahwa shalat gerhana bulan dilakukan secara berjama'ah sebagaimana pada gerhana matahari.
PENDAPAT Yang Kuat : bahwa shalat gerhana bulan dilaksanakan secara berjama'ah seperti shalat gerhana matahari; Hal tersebut berdasarkan hadis Ibunda 'Aisyah yang sahih, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Bahwa matahari dan bulan tidaklah gerhana karena meninggal atau hidupnya salah seorang... maka jika kalian melihat hal tersebut segeralah mengerjakan shalat".
•SIFATNYA
Ahli fiqih sepakat bahwa shalat khusuf itu dua rakaat, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam tata caranya : Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah berpendapat bahwa ia dua rakaat dan dalam setiap rakaat dua kali berdiri, dua kali qira`at, dua kali tuku dan dua kali sujud.
Dan mereka berdalil dengan hadis Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anha, dia berkata : "Matahari gerhana pada masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam shalat, maka manusia pun shalat, maka dia memanjangkan bacaan, kemudian ruku, maka memanjangkan ruku, kemudian mengangkat kepalanya, maka memanjangkan bacaan, dan ia lebih pendek dari bacaannya yang pertama, kemudian ruku, maka memanjangkan ruku, dan lebih sebentar daripada rukunnya yang pertama, kemudian mengangkat kepalanya, kemudian sujud dengan dua sujud, kemudian berdiri, maka dia melalukan demikian pada rakaat kedua seperti itu. Kemudian berdiri, maka bersabda : "Sesungguhnya matahari dan bulan tidaklah gerhana karena meninggal dan hidupnya/lahirnya seseorang, akan tetapi keduanya merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, Dia menampakannya pada hamba-hamba-Nya, maka jika kalian melihat hal itu maka segeralah untuk shalat". (HR. Bukhari).
Dan al Ahnaf berkata : Bahwa ia dua rakaat, pada setiap rakaat satu berdiri dan satu ruku, seperti shalat sunah yang lainnya.
YANG UTAMA beramal sesuai pendapat yang pertama, karena riwayat yang berhujjah dengannya kebanyakan ulama merupakan riwayat yang paling masyhur, oleh karena itu beramal dengannya lebih utama.
•HUKUM MENGERASKAN BACAAN DALAM SHALAT KHUSUF
Ahli fiqih berbeda pendapat tentang mengeraskan bacaan dalam shalat khusuf (gerhana) :
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidaklah dikeraskan dalam gerhana matahari; karena ia shalat siang hari, dan shalat siang itu siriyah (bacaan tidak keras), adapun shalat gerhana bulan maka ia disyari'atkan untuk dikeraskan dalam bacaan.
2. Imam Ahmad, dan ia riwayat dari Malik, bahwa disyariatkan mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana, mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan al Bukhari sari Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anha : "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam shalat khusuf, maka beliau mengeraskan bacaan". (HR. Al Bukhari). Dan bahwasanya ia merupakan shalat sunnah yang disyariatkan baginya berjamaah, maka merupakan sunahnya keras bacaannya, dan ia merupakan pendapat yang sahih; sebagai bentuk mengamalkan hadis ini.
Adapun tentang sifatnya maka Imam shalat dengan manusia sebanyak dua rakaat, pada setiap rakaat dua kali bacaan, dua kali ruku, dua kali sujud, sebagaimana telah kami sebutkan. Bacaan, ruku dan sujud panjang. Bacaan pada rakaat pertama lebih panjang daripada bacaan kedua, ruku pertama lebih panjang dari ruku kedua, demikian pula bacaan pada rakaat kedua lebih sedikit daripada bacaan pada rakaat pertama, kemudian ruku yang ketiga lebih ringan dari dua ruku yang pertama. Dan demikian pula bacaan pada rakaat kedua dari rakaat kedua maka lebih ringan daripada bacaan
yang pertama, demikian pula ruku yang kedua lebih ringan dari ruku pertama pada keduanya. Adapun dua sujud pada dua rakaat maka disunahkan memanjangkan keduanya dengan panjang yang tidak memberatkan manusia.
•APAKAH DISYARIATKAN KHUTBAH ?
1. Maka Jumhur berpendapat tidak disunahkan Khutbah; baik sebelum ataupun sesudah shalat.
2. Syafi'iyyah : Disunahkan untuk Khutbah setelah shalat dengan dua kali Khutbah, seperti Khutbah 'ied. Syafi'iyah berhujjah dengan hadis yang diriwayatkan Muslim, dari hadis Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anhaa : " Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam mengkhutbahi manusia, maka beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda : "Sesungguhnya Matahari dan Bulan dari tanda kebesaran Allah, dan keduanya tidaklah gerhana karena meninggal atau lahirnya seseorang, maka jika kalian melihat keduanya bertakbir lah, berdo'a kepada Allah dan bershadaqohlah !". (HR. Bukhari dan Muslim).
DAN YANG Sahih/Benar dalam hal ini adalah disyari'atkan (Khutbah) bagi Imam jika telah selesai dari shalatnya, karena mengamalkan hadis. Dia menghadap pada manusia dengan wajahnya, mengingatkan dan menasihati mereka, jika disidiknya ada ilmu. Dan memberitakan pada manusia bahwa gerhana matahari dan bulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah untuk membuat rasa takut dengan sebabnya pada hamba-hambaNya. Dan bahwa terjadinya hal tersebut tidaklah terjdi kecuali dengan sebab dosa dan maksiat, menakut-nakuti mereka dari kemurkaan Allah dan siksaNya. Kita memohon kepada Allah Ta'ala, supaya Dia memperbaiki keadaan kaum muslimin.
•JIKA SHALAT TELAH SELESAI, DAN KHUSUF/GERHANA BELUM SELESAI, APAKAH SHALAT KEMBALI ?
Jika manusia telah selesai shalat gerhana, dan gerhana belum selesai, maka tidak disyariatkan mengulang shalat, bahkan yang disyariatkan memperbanyak dzikir, takbir, shadakah dan memerdekakan hamba sahaya; karena kewajiban motivasi atas hal itu, sebagaimana telah lalu dalam hadis Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anha.
APABILA LANGIT MENDUNG, APAKAH MELAKSANAKAM SHALAT GERHANA?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah,
Tanya :
"Apa hukumnya jika matahari terhalangi mendung. Sementara telah disebarkan di media bahwa akan terjadi gerhana pada jam sekian sekian. Apakah tetap melaksanakan shalat gerhana walaupun gerhananya tidak terlihat?"
Jawab :
"TIDAK BOLEH melaksanakan shalat gerhana karena bersandar kepada berita yang tersebar di media, atau berita yang disebutkan oleh para ahli hisab/astronomi, ketika langit mendung dan gerhana tidak terlihat.
Karena Nabi — Shallallahu 'alaihi wa Sallam — mengaitkan hukum dengan RU'YAH. Nabi bersabda,
(فإذا رأيتموهما فافزعوا إلى الصلاة)
"Apabila kalian MELIHATnya maka bersegeralah melakukan shalat."
Suatu yang mungkin, bahwa Allah menyembunyikan gerhana dari satu kaum tertentu saja, tidak pada semuanya, karena ada suatu hikmah yang Dia kehendaki."
Majmu' Fatawa 16/309
سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
ما الحكم لو كانت الشمس عليها غمام ونشر في الصحف قبل ذلك بأنه سوف يحصل كسوف بإذن الله تعالى في ساعة كذا وكذا ، فهل تصلى صلاة الكسوف ولو لم ير؟
فأجاب: "لا يجوز أن يصلي اعتماداً على ما ينشر في الجرائد، أو يذكر بعض الفلكيين، إذا كانت السماء غيماً ولم ير الكسوف ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤية ، فقال عليه الصلاة والسلام : (فإذا رأيتموهما فافزعوا إلى الصلاة) ، ومن الجائز أن الله تعالى يخفي هذا الكسوف عن قوم دون آخرين لحكمة يريدها " انتهى من "مجموع الفتاوى" (16/309) .
•••••••••••••••••••••
Majmu'ah Manhajul Anbiya
Al Fiqhu al Muyassar, Prof DR Abdullah bin Muhammad at Thayyaar 1/444-449
~~~~~~~~~~~~~~~~~
•DALIL DISYARIATKANNYA
Telah valid sunnah tentang disyariatkannya shalat khususf, diantaranya : Hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Al Mughirah bin Syu'bah rodiyallahu 'anhu, dia berkata : «Terjadi gerhana matahari pada hari wafatnya Ibrahim, maka manusia berkata : 'Terjadi Gerhana matahari karena meninggalnya Ibrahim', maka Rasulullah shallahu 'alaihi WA sallam bersabda : "Sesngguhnya matahari dan bulan merupakan tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, tidaklah keduanya gerhana karena matinya atau hidupnya seseorang, jika kalian melihat keduanya (gerhana) maka berdo'alah kepada Allah dan shalat lah hingga terang kembali"». (HR. Bukhari Muslim).
•HUKUM SHALAT KHUSUF
1. Jumhur Fuqoha (ahli fiqih) berpendapat bahwa hukum shalat khusuf adalah sunnah muakkadah. Mereka berdalilkan dengan hadis Syu'bah yang telah lalu, mereka berkata bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan dengannya dan sekaligus mengerjakannya, maka itu menunjukkan sunnah mu'akadah. Mereka menyatakan bahwa yang memalingkan dari hukum wajib adalah hadis al A‘raabiy, dan didalamnya : «Bahwasanya 'Arabiy itu bertanya tentang shalat lima waktu, kemudian bertanya : 'Apakah bagiku ada kewajiban shalat yang lainnya ?' Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab : 'Tidak ada, kecuali jika kamu mengerjakan sesuatu yang sunnah'». (HR. Bukhari Muslim).
2. Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan wajibnya shalat khusuf, ia merupakan pendapat Hanafiyah, dan dengan pendapat Ibnu Utsaimin berpendapat.
Dan Ibnul Qoyyim berkata dalam kitab shalat : "Ia merupakan pendapat yang kuat, yaitu pendapat wajibnya, mereka beralasan bahwa Nabi memerintahkan hal tersebut, dan keluarnya beliau untuk shalat khusuf dalam keadaan tiba-tiba, dan bersabda : "Sesungguhnya ia memberikan rasa takut" dan berkhotbah (dengan) Khutbah yang agung, dan dinampakkan kepadanya Surga dan Neraka, maka seluruh indikasi ini memberikan kesan wajib.
Dan mereka menjawab hadis 'Arabiy bahwa Nabi shalallahu 'alaihi sallam menyebutkan shalat yang lima waktu; karena ia shalat harian yang berulang pada setiap waktu dan tempat, berbeda dengan shalat ini, maka ia wajib dengan sebabnya, dan sesuatu yang wajib karena suatu sebab tidak seperti kewajiban yang mutlak.
Maka seperti orang bernazar untuk shalat dua rakaat contohnya, maka ia wajib atas orang tersebut, dan ia bukanlah bagian dari shalat yang lima waktu.
YANG BENAR bahwa hukum shalat khusuf sunnah mu'akadah; karena kuatnya dalil-dalil orang yang berpendapat dengan pendapat tersebut, dan dengan pendapat ini Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berpendapat.
•WAKTU SHALAT KHUSUF
Waktu shalat khusuf dimulai dari nampaknya khusuf sampai hilangnya/selesainya; hal tersebut berdasarkan sabda shalallahu 'alaihi wa sallam yang telah lalu : "Jika kalian melihat keduanya maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga nampak kembali". (HR. Bukhari Muslim).
Dari sini kita mengetahui bahwa tidak disyari'atkan shalat khusuf sebelum terjadinya karena bersandar pada perkataan astronom, bahkan satu keniscayaan dari melihatnya dengan penglihatan yang biasa dan tidak menggunakan teropong dan yang semisalnya.
•HUKUM SHALAT KHUSUF PADA WAKTU-WAKTU TERLARANG
Para ulama berbeda pendapat salam masalah ini pada dua pendapat :
1. Tidak dilakukan shalat pada waktu-waktu terlarang; karena keumuman dalil-dalil yang ada tentang larangan shalat pada waktu-waktu terlarang, dan kami telah paparkan dalil-dalil ini pada waktu yang telah lalu, ini merupakan pendapat Hanafiyah, dan ia merupakan dzahir Madzhab Hanabilah, dan riwayat dari Imam Malik, dan mereka menyatakan bahwa pelaksanaan shalat diganti dengan istigfar, tahlil, tasbih, dan lainnya selain shalat.
2. Bahwa ia tetap shalat di waktu-waktu terlarang ini; karena ia merupakan shalat yang memiliki sebab, maka ia shalat di waktu kapan saja, seperti shalat-shalat yang memiliki sebab, dan ia merupakan pendapat Syafi'iyah; dan ini pendapat yang benar.
•HUKUM BERJAMA'AH DALAM SHALAT KHUSUF
Ahli fiqih telah sepakat bahwa pelaksanaan shalat gerhana matahari dilakukan secara berjama'ah, adapun husuf (gerhana) bulan maka ahli fiqih berbeda pendapat pada dua pendapat :
1. Pendapat Abu Hanifah dan Malik, bahwa shalat gerhana bulan dilakukan sendirian dua rakaat dua rakaat dan tidak dilakukan secara berjama'ah, mereka beralasan bahwasanya tidak dikutif dari Nabi shallallahu 'alahi wa sallam bahwa beliau shalat gerhana bulan secara berjama'ah, padahal gerhana bulan lebih sering terjadi daripada gerhana matahari.
2. Pendapat kedua, ia merupakan Madzhab Hanabilah, bahwa shalat gerhana bulan dilakukan secara berjama'ah sebagaimana pada gerhana matahari.
PENDAPAT Yang Kuat : bahwa shalat gerhana bulan dilaksanakan secara berjama'ah seperti shalat gerhana matahari; Hal tersebut berdasarkan hadis Ibunda 'Aisyah yang sahih, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Bahwa matahari dan bulan tidaklah gerhana karena meninggal atau hidupnya salah seorang... maka jika kalian melihat hal tersebut segeralah mengerjakan shalat".
•SIFATNYA
Ahli fiqih sepakat bahwa shalat khusuf itu dua rakaat, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam tata caranya : Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah berpendapat bahwa ia dua rakaat dan dalam setiap rakaat dua kali berdiri, dua kali qira`at, dua kali tuku dan dua kali sujud.
Dan mereka berdalil dengan hadis Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anha, dia berkata : "Matahari gerhana pada masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam shalat, maka manusia pun shalat, maka dia memanjangkan bacaan, kemudian ruku, maka memanjangkan ruku, kemudian mengangkat kepalanya, maka memanjangkan bacaan, dan ia lebih pendek dari bacaannya yang pertama, kemudian ruku, maka memanjangkan ruku, dan lebih sebentar daripada rukunnya yang pertama, kemudian mengangkat kepalanya, kemudian sujud dengan dua sujud, kemudian berdiri, maka dia melalukan demikian pada rakaat kedua seperti itu. Kemudian berdiri, maka bersabda : "Sesungguhnya matahari dan bulan tidaklah gerhana karena meninggal dan hidupnya/lahirnya seseorang, akan tetapi keduanya merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, Dia menampakannya pada hamba-hamba-Nya, maka jika kalian melihat hal itu maka segeralah untuk shalat". (HR. Bukhari).
Dan al Ahnaf berkata : Bahwa ia dua rakaat, pada setiap rakaat satu berdiri dan satu ruku, seperti shalat sunah yang lainnya.
YANG UTAMA beramal sesuai pendapat yang pertama, karena riwayat yang berhujjah dengannya kebanyakan ulama merupakan riwayat yang paling masyhur, oleh karena itu beramal dengannya lebih utama.
•HUKUM MENGERASKAN BACAAN DALAM SHALAT KHUSUF
Ahli fiqih berbeda pendapat tentang mengeraskan bacaan dalam shalat khusuf (gerhana) :
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidaklah dikeraskan dalam gerhana matahari; karena ia shalat siang hari, dan shalat siang itu siriyah (bacaan tidak keras), adapun shalat gerhana bulan maka ia disyari'atkan untuk dikeraskan dalam bacaan.
2. Imam Ahmad, dan ia riwayat dari Malik, bahwa disyariatkan mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana, mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan al Bukhari sari Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anha : "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam shalat khusuf, maka beliau mengeraskan bacaan". (HR. Al Bukhari). Dan bahwasanya ia merupakan shalat sunnah yang disyariatkan baginya berjamaah, maka merupakan sunahnya keras bacaannya, dan ia merupakan pendapat yang sahih; sebagai bentuk mengamalkan hadis ini.
Adapun tentang sifatnya maka Imam shalat dengan manusia sebanyak dua rakaat, pada setiap rakaat dua kali bacaan, dua kali ruku, dua kali sujud, sebagaimana telah kami sebutkan. Bacaan, ruku dan sujud panjang. Bacaan pada rakaat pertama lebih panjang daripada bacaan kedua, ruku pertama lebih panjang dari ruku kedua, demikian pula bacaan pada rakaat kedua lebih sedikit daripada bacaan pada rakaat pertama, kemudian ruku yang ketiga lebih ringan dari dua ruku yang pertama. Dan demikian pula bacaan pada rakaat kedua dari rakaat kedua maka lebih ringan daripada bacaan
yang pertama, demikian pula ruku yang kedua lebih ringan dari ruku pertama pada keduanya. Adapun dua sujud pada dua rakaat maka disunahkan memanjangkan keduanya dengan panjang yang tidak memberatkan manusia.
•APAKAH DISYARIATKAN KHUTBAH ?
1. Maka Jumhur berpendapat tidak disunahkan Khutbah; baik sebelum ataupun sesudah shalat.
2. Syafi'iyyah : Disunahkan untuk Khutbah setelah shalat dengan dua kali Khutbah, seperti Khutbah 'ied. Syafi'iyah berhujjah dengan hadis yang diriwayatkan Muslim, dari hadis Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anhaa : " Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam mengkhutbahi manusia, maka beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda : "Sesungguhnya Matahari dan Bulan dari tanda kebesaran Allah, dan keduanya tidaklah gerhana karena meninggal atau lahirnya seseorang, maka jika kalian melihat keduanya bertakbir lah, berdo'a kepada Allah dan bershadaqohlah !". (HR. Bukhari dan Muslim).
DAN YANG Sahih/Benar dalam hal ini adalah disyari'atkan (Khutbah) bagi Imam jika telah selesai dari shalatnya, karena mengamalkan hadis. Dia menghadap pada manusia dengan wajahnya, mengingatkan dan menasihati mereka, jika disidiknya ada ilmu. Dan memberitakan pada manusia bahwa gerhana matahari dan bulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah untuk membuat rasa takut dengan sebabnya pada hamba-hambaNya. Dan bahwa terjadinya hal tersebut tidaklah terjdi kecuali dengan sebab dosa dan maksiat, menakut-nakuti mereka dari kemurkaan Allah dan siksaNya. Kita memohon kepada Allah Ta'ala, supaya Dia memperbaiki keadaan kaum muslimin.
•JIKA SHALAT TELAH SELESAI, DAN KHUSUF/GERHANA BELUM SELESAI, APAKAH SHALAT KEMBALI ?
Jika manusia telah selesai shalat gerhana, dan gerhana belum selesai, maka tidak disyariatkan mengulang shalat, bahkan yang disyariatkan memperbanyak dzikir, takbir, shadakah dan memerdekakan hamba sahaya; karena kewajiban motivasi atas hal itu, sebagaimana telah lalu dalam hadis Ibunda 'Aisyah rodiyallahu 'anha.
APABILA LANGIT MENDUNG, APAKAH MELAKSANAKAM SHALAT GERHANA?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah,
Tanya :
"Apa hukumnya jika matahari terhalangi mendung. Sementara telah disebarkan di media bahwa akan terjadi gerhana pada jam sekian sekian. Apakah tetap melaksanakan shalat gerhana walaupun gerhananya tidak terlihat?"
Jawab :
"TIDAK BOLEH melaksanakan shalat gerhana karena bersandar kepada berita yang tersebar di media, atau berita yang disebutkan oleh para ahli hisab/astronomi, ketika langit mendung dan gerhana tidak terlihat.
Karena Nabi — Shallallahu 'alaihi wa Sallam — mengaitkan hukum dengan RU'YAH. Nabi bersabda,
(فإذا رأيتموهما فافزعوا إلى الصلاة)
"Apabila kalian MELIHATnya maka bersegeralah melakukan shalat."
Suatu yang mungkin, bahwa Allah menyembunyikan gerhana dari satu kaum tertentu saja, tidak pada semuanya, karena ada suatu hikmah yang Dia kehendaki."
Majmu' Fatawa 16/309
سئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
ما الحكم لو كانت الشمس عليها غمام ونشر في الصحف قبل ذلك بأنه سوف يحصل كسوف بإذن الله تعالى في ساعة كذا وكذا ، فهل تصلى صلاة الكسوف ولو لم ير؟
فأجاب: "لا يجوز أن يصلي اعتماداً على ما ينشر في الجرائد، أو يذكر بعض الفلكيين، إذا كانت السماء غيماً ولم ير الكسوف ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الحكم بالرؤية ، فقال عليه الصلاة والسلام : (فإذا رأيتموهما فافزعوا إلى الصلاة) ، ومن الجائز أن الله تعالى يخفي هذا الكسوف عن قوم دون آخرين لحكمة يريدها " انتهى من "مجموع الفتاوى" (16/309) .
•••••••••••••••••••••
Majmu'ah Manhajul Anbiya
Al Fiqhu al Muyassar, Prof DR Abdullah bin Muhammad at Thayyaar 1/444-449
~~~~~~~~~~~~~~~~~