Makna Laa Ilaha Illa Allah
ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah),
merupakan kalimat yang senantiasa dikumandangkan kaum muslimin pada saat adzan,
iqomah, khutbah, dan menjadi pokok bahasan dalam percakapan sehari-hari,
menjadi penegak bumi dan langit, menjadi tujuan utama diciptakannya seluruh
makhluk (QS. Adz-Dzariyat : 56), merupakan sebab utama para rasul diutus dan kitab-kitab
diturunkan (QS. Al-Anbiya : 25), menjadi tulang punggung syariat, menjadi tolok
ukur ditegakkannya timbangan keadilan dan catatan amal, menjadi pemisah antara
mukmin dan kafir dan sebagainya.
Kalimat ini memang pendek
lafadznya, sedikit hurufnya dan ringan diucapkan, namun memiliki bobot yang
sangat berat di dalam timbangan keadilan, Ibnu Hibban dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Musa pernah berkata, ‘Wahai Tuhanku, ajarilah aku sesuatu yang dapat
aku pakai untuk ingat dan berdoa kepada-Mu’ Allah berfirman, ‘Wahai Musa,
ucapkanlah Laa ilaaha ilallah’ Musa berkata, ‘Semua hamba-Mu mengucapkan
kalimat ini’. Allah berfirman, ‘Wahai Musa, seandainya tujuh langit dan
penghuninya selain Aku dan tujuh bumi diletakkan di salah satu daun timbangan
dan Laa ilaha ilallah pada timbangan lainnya, niscaya Laa ilaha ilallah lebih
berat dari itu semua”.
Penafsiran
Yang Salah
Ada
beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah). Kesalahan tersebut cukup fatal dan sudah
tersebar luas di masyarakat. Beberapa pemaknaan tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut :
a.
Menafsirkan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa
ilaha illallah) dengan ﻻمَعْبُوْدَ إَﻻاﷲُ (tidak ada tuhan (sesembahan) kecuali
Allah)
Makna
tersebut rancu karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi –baik dengan
benar maupun salah-, adalah Allah. Pada kenyataannya ada beberapa sesembahan
yang diibadahi selain Allah seperti kuburan, pohon, tempat keramat, batu, jin,
malaikat, para Nabi atau para wali. Padahal satu-satunya Dzat yang berhak
diibadahi hanyalah Allah semata.
b.
Menafsirkan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa
ilaha illallah) dengan ﻻخَالِقَ إَﻻاﷲُ (tidak ada pencipta kecuali Allah)
Makna
ini merupakan bagian dari makna kalimat ﻻإِلَهَ
إَﻻاﷲُ (laa
ilaha illallah). Namun penafsiran seperti ini masih belum cukup karena
masih berupa tauhid rububiyah
(pengakuan bahwa Allah sebagai Robb,
pencipta dan pengatur) saja.
Penafsiran
seperti ini yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik jahiliyah dahulu, namun
tidak memasukkan mereka ke dalam Islam bahkan darah serta harta mereka
dihalalkan dan mereka pun diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang musyrik jahiliyah mengetahui
Allah adalah Robb, pengatur dan pencipta, tapi mereka tidak mau bersyahadat
karena mereka memahami konsekuensinya yaitu hanya menjadikan Allah sebagai
sesembahan.
c.
Menafsirkan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) dengan ﻻحَاكِمِيَّةَ
إَﻻاﷲُ (tidak ada yang berhak menghukumi kecuali
Allah)
Pengertian
ini juga tidak cukup, karena apabila mengesakan Allah dengan pengakuan atas
sifat Allah Yang Maha Kuasa saja lalu berdoa kepada selainNya, atau
menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selainNya, maka hal ini belum
termasuk definisi yang benar.
Makna ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa
ilaha illallah)
Dari
pembahasan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa makna dari kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) adalah ﻻمَعْبُوْدَ
بِحَقّ إَﻻاﷲُ (laa
ma’buda bihaqqin illallah) artinya Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah. Kalimat agung ini mengandung
penegasan bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi hanyalah Allah. Sedangkan
sesembahan lainnya adalah sesembahan yang bathil, karena memang tidak berhak disembah.
Oleh karena itu, banyak
dijumpai ayat Al-Qur’an yang memerintahkan beribadah hanya kepada Allah dan
menolak segala macam sesembahan selain-Nya. Sebab beribadah kepada Allah tidak
sah bila masih disertai dengan noda syirik. Allah Ta’ala berfirman:
“ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun” (QS. An-Nisa : 36).
Allah Ta’ala juga
menyatakan:
“Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak
akan putus.”(Al-Baqarah : 256).
“Dan sungguhnya
kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (QS.
An-Nahl : 36).
Al-Imam Ibnu Rajab
Rohimahullah berkata: “Dari sini jelaslah bahwa ucapan ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) merupakan pengakuan hamba bahwa tidak memiliki
sesembahan (ilah) selain Allah. Sedangkan makna al-ilaah adalah zat yang ditaati dan tidak dimaksiati disertai
perasaan takut, pengagungan, cinta, harap, tawakal, meminta, dan berdo’a
kepada-Nya. Ini semuanya tidak pantas diberikan kecuali hanya untuk Allah.
Semua sesembahan (ilah)
yang disembah berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kuburan,
pohon, kayu patung, dan lainnya, semuanya adalah sesembahan yang bathil yang
tidak bisa memberikan manfaat dan tidak bisa menolak bahaya.
Firman Allah Ta’ala :
“ Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan
tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat
(yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang
yang zalim". (QS. Yunus : 106)
“ (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah
Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Tuhan) yang Haq dan Sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah,
dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Hajj : 62)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barang siapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan
selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah
terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Ini adalah termasuk hal terpenting yang menjelaskan pengertian ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ "Laa ilaha illa Allah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ "Laa ilaha illa Allah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan pula dengan mengakui kebenaran kalimat tersebut, bahkan bukan juga tidak meminta kecuali kepada Allah saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ "Laa ilaha illa Allah" itu pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.
Sungguh agung dan penting sekali tafsiran "Tauhid" dan syahadat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) yang terkandung dalam hadits ini, sangat jelas keterangan yang dikemukakannya dan sangat meyakinkan argumentasi yang diajukan bagi orang yang menentang.
Rukun ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah)
Ini adalah termasuk hal terpenting yang menjelaskan pengertian ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ "Laa ilaha illa Allah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ "Laa ilaha illa Allah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan pula dengan mengakui kebenaran kalimat tersebut, bahkan bukan juga tidak meminta kecuali kepada Allah saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ "Laa ilaha illa Allah" itu pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.
Sungguh agung dan penting sekali tafsiran "Tauhid" dan syahadat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) yang terkandung dalam hadits ini, sangat jelas keterangan yang dikemukakannya dan sangat meyakinkan argumentasi yang diajukan bagi orang yang menentang.
Rukun ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah)
Kalimat
ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) memiliki dua rukun
yaitu :
- اَلْنَّفْيُ (pengingkaran), diambil dari kalimat ﻻإِلَهَ (laa ilaha) Yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah.
- اَلْإِثْبَاتُ (penetapan), diambil dari kalimat إَﻻاﷲُ (illallah) Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah saja. Tidak ada sekutu bagiNya.
Makna kedua rukun ini banyak tertera dalam Al-Qur’an diantaranya :“
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak
akan putus.”(Al-Baqarah
: 256).
“ (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah
Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Tuhan) yang Haq dan Sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah,
dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al-Hajj : 62)
Syarat
ﻻإِلَهَ
إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah)
Kalimat ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah) tidak
bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya, kecuali dengan memenuhi tujuh
persyaratan berikut:
- Al-Ilmu, artinya mengetahui maknanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“ Maka Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan)yang haq selain Allah.” (QS Muhammad :
19)
Oleh sebab itu, orang yang mengucapkannya
tanpa memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat
sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu, tetapi ia
tidak mengerti arti ucapannya itu.
- Al-Yaqin, artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat itu, tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun.
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu..”(QS Al Hujurat : 15)
- Al-Ikhlas, artinya ikhlas yaitu menyucikan amalan ibadah dari kesyirikan, riya’, maupun sum’ah. Inilah konsekuensi pokok ﻻإِلَهَ إَﻻاﷲُ (laa ilaha illallah).
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS
Al-Bayyinah : 5)
- Ash-Shidqu, artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang mengucapkan kalimat ini, akan tetapi tidak diyakini isinya didalam hati.
“Di antara manusia ada yang
mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian‘ padahal mereka itu
Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan
orang-orang yang beriman, padahal mereka Hanya menipu dirinya sendiri sedang
mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah : 8-9)
- Al-Mahabbah, artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekwensinya serta merasa gembira dengan hal itu. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang munafik.
“ Dan diantara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS Al-Baqarah : 165)
- Al-Inqiyad, artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat itu, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini termasuk konsekuensinya.
“Dan barangsiapa yang
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka
Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada
Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS
Luqman : 22)
Al-Qabul, artinya menerima apa adanya
tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan Allah.
“ Sesungguhnya mereka dahulu
apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan
yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.” (QS Ash-Shaffat : 75)
Syarat-syarat ini diambil
oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunah yang membahas secara khusus
tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan yang berkaitan
dengannya. Yang intinya, kalimat ini bukan sekedar diucapkan dengan lisan
semata.
Semoga Allah Ta’ala
memudahkan kita semua untuk selalu mentauhidkanNya. Wallahu Musta’an. Wallahu Ta’ala A’lam. (diringkas oleh : Ummu Najdah
AlHanifiyyah)
Maraji’
:
-
Al-Qur’anil ‘Azhim dan terjemahnya
-
At-Ta’liqot ‘ala Kasyfisy Syubhat, Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-‘Utsaimin
-
At-Tanbihat Al-Mukhtashoroh Syarh Al-Wajibat Al-Mutahattimat
Al-Ma’rifah ‘ala Kulli Muslimin wa Muslimatin, Syaikh Ibrahim bin Syaikh Shalih
bin Ahmad Al-Khuroisy
-
Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
-
Hakikat Tauhid & makna Laa ilaha ilallah, Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan
-
Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok, Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin
-
Pelajaran Tauhid tingkat Lanjutan, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin
Muhammad Alu ‘Abdul Lathif
-
Majalah As-Sunnah ed 01/X/1427 H/2006 M
-
Majalah As-Sunnah ed 02/X/1427 H/2006 M